Minggu, 28 Agustus 2011

Makna Ramadhan Dan Idul Fitri

Jika kita melihat perjalanan hidup Nabi Muhammad sebagai sebuah kitab al Quran yang hidup, kita melihat bahwa apa yang dilakukan beliau itu seperti gambaran yang terdapat di dalam al Quran, yaitu segala sesuatunya penuh dengan perumpamaan. Perumpamaan ini jika kita mau dan tahu cara untuk dibimbing Allah, maka ternyata perjalanan hidup Nabi Muhammad tersebut mengandung makna yang mendalam sebagai pelajaran di balik simbol-simbol peristiwa yang merupakan perumpamaan.
Ketika Nabi Muhammad memerintahkan kita melakukan puasa di bulan Ramadhan, secara syariat kita tentu mengartikan bahwa kita wajib berpuasa di suatu bulan dalam kalender Hiriyah yang bernama bulan Ramadhan selama sebulan penuh sebagai sesuatu kewajiban. Namun ternyata, makna dari puasa atau shaum lebih dalam dari hanya sekedar berpuasa fisik sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Makna dari Ramadhan ternyata lebih dalam dari hanya sekedar suatu bulan dalam kalender Hijriyah.
Ramadhan di dalam arti bahasa berarti membakar dan dimaksudkan sebagai membakar dosa. Menjadi pertanyaan, apa dosa spesifik yang dapat terbakar di bulan Ramadhan? Bagaimana cara membakar dosa di bulan Ramadhan?
Dosa yang dibakar di bulan Ramadhan adalah dosa kemusyrikan manusia, terutama kemusyrikan dalam hal kepemilikan dan kemusyrikan dalam hal aturan. Perkenankanlah saya membahas sedikit mengenai kedua jenis dosa ini, namun untuk lebih jelasnya, harap diperhatikan kembali bahasan tentang “Meraih Cahaya Allah” di pembahasan sebelumnya dalam mailing list ini.
Pertama, Ramadhan adalah proses membakar dosa musyrik kepemilikan dimana manusia merasa bahwa segala yang Allah telah berikan (sebenarnya bukan diberikan, lebih tepatnya dititipkan) kepadanya adalah miliknya sendiri, padahal itu sebenarnya milik Allah yang dititipkan kepadanya. Merasa memiliki ini adalah ciri-ciri dosa musyrik kepemilikan, sebagaimana disebutkan dalam Surat 18:32-42, Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat” Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu.” Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan, maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik dari pada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu; hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi.” Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.”
Merasa memiliki sesuatu yang dititipkan Allah merupakan ciri-ciri sifat mempersekutukan Allah dalam hal kepemilikan karena Allah telah meng-klaim bahwa alam semesta dan isinya merupakan milik-Nya dan tidak boleh ada dua pemilik, sebagaimana disebutkan dalam Surat 42:53, (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.
Oleh karena itu dalam bulan Ramadhan ini kita diajarkan untuk membakar dosa musyrik kepemilikan dengan pembuktian bahwa semua ini bukan milik saya tetapi milik Allah yang dititipkan kepada saya. Pembuktian itu namanya shodaqoh yang berasal dari kata shiddiq yang berarti benar atau membenarkan.
Pembuktian bahwa kita melakukan proses Ramadhan atau pembakaran dosa musyrik kepemilikan bukanlah kepada Allah dan bukanlah lewat alat yang disebut puasa fisik, namun dengan pemberian kepada orang miskin pada bulan Ramadhan, sebagaimana disebutkan dalam Surat 9:60, Sesungguhnya sedekah-sedekah itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus sedekah, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Jika kita selalu bersedekah dengan disertai kepahaman bahwa ini adalah suatu proses pembuktian atau pembenaran bahwa semua ini bukan milik saya tetapi merupakan titipan Allah dimana di dalamnya ada hak orang miskin, sebagaimana disebutkan dalam Surat 51:19, Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian dan Surat 70:24, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), maka pada saat itulah kita berproses Ramadhan atau membakar dosa kemusyrikan dalam hal kepemilikan.
Kedua, Ramadhan adalah proses membakar dosa musyrik aturan dimana selama ini kita hidup diatur oleh bukan hukum Allah di dalam al Kitab (al Quran), maka dalam proses Ramadhan ini kita diajak untuk Idul Fitri yaitu kembali kepada fitrah aturan Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surat 30:30-32, Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya dengan tidak bermaksud menyalahkan atau menggurui, selama ini konsep umat Islam sedunia tentang Idul Fitri boleh dibilang salah kaprah. Idul Fitri selama ini diartikan sebagai kembali ke fitrah tanpa dosa bagaikan bayi yang baru lahir karena selama sebulan telah menunaikan ibadah puasa. Menjadi pertanyaan bagi saya, apakah ada manusia yang bebas dari dosa? Apakah bolah kita mengaku sebagai manusia yang fitrah seperti bayi baru lahir? Kalau kita merasa sebagai bayi, berarti tidak perlu taubat lagi?
Di dalam al Quran, Allah telah melarang kita untuk merasa suci atau memahami konsep Idul Fitri secara salah kaprah seperti ini. Kita tidak diperbolehkan merasa diri kita suci, sebagaimana disebutkan dalam Surat 53:32, (Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.
Lebih lanjut, kembali kepada suci di dalam al Quran disebut sebagai zakat dan bukan fitri atau fitrah. Jadi secara bahasaquran, Idul Fitri tidak dimaknai sebagai kembali kepada suci tetapi kembali kepada fitrah. Fitrah itu sebenarnya tidak berarti suci tetapi berarti aturan.
Menurut konsep yang benar, meskipun mungkin akan berpotensi berlainan dengan kebanyakan konsep umat Islam di muka bumi ini, Idul Fitri itu selayaknya diartikan sebagai kembali kepada fitrah aturan Allah yang murni yaitu al Quran, aturan yang lurus, aturan yang tidak berubah dari sejak dahulu (ad-Dinul Qoyyimah), tidak menambah-nambah, tidak mengurangi, lurus dan kaffah. Itulah makna Idul Fitri yang sesungguhnya meskipun telah disebutkan dalam Surat Ar Ruum diatas, kebanyakan manusia tidak memahami makna Idul Fitri yang sesungguhnya.
Kebanyakan manusia memahami makna Idul Fitri sebagai kembali suci seperti bayi sehingga kita semua merasa bersih dari dosa pada saat Hari Raya Idul Fitri padahal merasa suci semacam ini dilarang oleh Allah dan konsepsi ini telah membuat kita setiap tahun melewati Idul Fitri namun semakin jauh dari fitrah Allah yaitu al Quran.
Manusia yang memaknai Idul Fitri sebagai kembali ke aturan Allah yang murni adalah manusia yang melewati proses Ramadhan dengan sebenarnya karena dia akan mengendalikan hawa nafsunya dengan aturan Allah dalam al Quran sehingga dia memiliki nafsul muthmainah atau nafsu yang terkendali. Inilah makna puasa yang sebenarnya. Inilah makna Ramadhan yaitu membakar dosa kemusyrikan secara aturan.
Manusia yang memahami makna Ramadhan yaitu membakar dosa kemusyrikan, maka dia akan menyadari bahwa setiap hari dalam hidupnya sebenarnya adalah proses Ramadhan tanpa henti yang tidak dihentikan oleh hari lebaran, namun dihentikan oleh dipertemukannya ajal.
Manusia yang berproses Ramadhan dengan mengikis dosa kemusyrikan secara kepemilikan dengan selalu bersedekah dan dosa kemusyrikan secara aturan dengan ber-Idul Fitri atau kembali ke al Quran, maka dialah yang mendapatkan karunia atau fadlul Allah dalam bentuk petunjuk dan ampunan yang diawali dengan proses Lailatul Qadar atau Nuzulul Quran.
Insya Allah kita akan membahas lanjutan topik Lailatul Qadar dan Nuzulul Quran dalam bahasan selanjutnya.